
Oleh: Asro Al Murthawy
Di dunia sastra Jambi, kita sering bicara soal dua kutub: penyair yang suka berteriak lantang dan penyair yang memilih lirih. Dalyono Yono DL, lewat antologi puisinya Pemberontakan Kata-Kata (FAM Publishing, 2020), jelas berada di jalur kedua. Ia tidak tampil dengan pukulan keras, melainkan dengan pukulan kecil yang samar tapi terus-menerus—ibarat tetes air di batu, pelan tapi sanggup meninggalkan jejak.
Nama Yono DL sendiri bukan asing. Ia anggota Sanggar Imaji, sebuah komunitas literasi yang sejak awal 2000-an giat menumbuhkan penyair-penyair perantau Jambi. Ia bekerja sehari-hari di PT Pos Indonesia, tetapi di sela kesibukan itu kata-katanya terus menuntut lahir. Dan benar saja, dari puisinya terlihat bagaimana keseharian, perjalanan, dan kenangan merembes pelan jadi bait-bait yang intim.
Romantisme yang Menyelusup Pelan
Meski judulnya “pemberontakan”, puisi-puisi Yono DL justru bernafas romantisme. Bukan romantisme percintaan ala drama televisi, tetapi romantisme yang menghayati hidup, alam, dan kenangan. Romantisme yang membuat orang bisa rindu kampung halaman hanya karena sepotong goreng pisang, atau merasa hidup penuh makna ketika melihat matahari layu di sudut pasar.
Puisi “Suatu Sore di Kota Lintas”, misalnya, menampilkan suasana pasar yang perlahan ditelan senja:
Matahari layu dibelai senja / Jingga menggelap / Diam-diam sunyi…
Larik itu sederhana, tapi mengandung daya romantis: sebuah perasaan kehilangan yang hadir begitu saja di ruang publik yang sebetulnya riuh. Kata-kata itu bekerja bukan untuk menggedor, melainkan untuk menyentuh sisi lirih kita.
Romantisme juga hadir dalam puisi “Kekasih Hati”, yang ditulis untuk seorang yang terkasih. Ada ketulusan menerima masa lalu dan menambatkan diri pada masa depan bersama:
Ya, aku telah melupakan jejak luka di dada / Hari-hari yang bergelombang telah menepi / Bersama jejak camar yang pulang setiap waktu.
Di sini, luka justru dipeluk dengan mesra. Tidak ada amarah. Justru kelembutan metafora yang membuat luka itu bisa ditelan sebagai bagian dari perjalanan.
Metafora yang Lembut, Embun di Ujung Rumput
Kekuatan Yono DL ada pada metafora yang lembut. Ia tidak menggempur pembaca dengan simbol-simbol abstrak yang rumit. Ia memilih bahasa sehari-hari—kopi, sigaret, hujan, angin, senja—dan menjadikannya cermin bagi kerinduan.
Dalam puisi “Sigaret”, hidup disamakan dengan puntung rokok:
Sigaret / Membara diawal jumpa / Diam-diam meredup habis / Demikian hidup.
Metafora ini sederhana, tapi menohok. Hidup tak perlu dijelaskan panjang lebar; cukup dibandingkan dengan sebatang rokok yang perlahan habis. Ringkas, jernih, dan membekas.
Begitu pula dengan “Goreng Pisang Kuamang”. Bayangkan: goreng pisang, kopi, dan senja. Yono menjadikannya medium perenungan. Sesuatu yang remeh-temeh ternyata mampu memanggil kembali kenangan rumah, bapak, simbok, dan nilai hidup sederhana.

Metafora-metafora seperti ini ibarat embun di ujung rumput. Ringan, mudah hilang, tapi kalau kita perhatikan, ia justru membuat rumput tampak segar dan bercahaya.
Satir Lirih: Kata-Kata yang Demo Tapi Malu-Malu
Nah, judul buku ini sebetulnya agak menjebak. “Pemberontakan Kata-Kata” membuat kita membayangkan sebuah revolusi sastra yang lantang, penuh teriakan. Tetapi begitu dibaca, kita malah mendapati pemberontakan yang lirih, bahkan romantis.
Pemberontakan versi Yono DL bukanlah bom molotov, melainkan secangkir kopi panas di teras rumah. Bukan teriakan megafon, tapi bisikan angin malam di terminal. Kalau diibaratkan, kata-kata dalam buku ini seperti mahasiswa demo yang ujung-ujungnya makan nasi bungkus bareng aparat. Jadi bukannya rusuh, malah akrab.
Puisi “Pemberontakan Kata-Kata” sendiri menggambarkan hal itu:
Di setiap teguk kopi malamku / Kata-kata berhamburan serupa peluru…
Memang, ada metafora peluru. Tetapi peluru di sini tak benar-benar mematikan. Ia lebih mirip kembang api: indah di langit, sebentar, lalu redup. Kata-kata Yono memberontak bukan dengan merusak, melainkan dengan mengusik.
Itulah satir lirihnya. Seolah-olah kata-kata ingin berontak, tapi begitu keluar justru memilih jadi lembut. Kata-kata menolak ditugaskan sebagai senjata keras; mereka lebih suka jadi laron yang menabrak lampu, atau jadi asap kopi yang menari di udara.
Sastra Jambi: Napas Panjang dari Muara Bungo
Kalau kita tarik ke peta sastra, antologi ini juga menegaskan satu hal: bahwa Jambi, khususnya Muara Bungo, terus melahirkan suara-suara puitis yang unik. Setelah nama-nama besar seperti Suryadi Agung Saputra, Supali Kasim, hingga generasi muda di Sanggar Imaji, Yono DL hadir dengan gayanya sendiri—lirih, romantis, satir kecil yang manis.
Buku ini menjadi penanda bahwa sastra Jambi bukan sekadar riuh di panggung pembacaan, tetapi juga hadir lewat suara perantau yang sehari-hari bekerja di kantor pos, namun diam-diam menyimpan dunia batin yang kaya. Justru dari keseharian itulah lahir puisi-puisi yang terasa dekat: tentang pasar, terminal, hujan, rokok, dan kopi.
Dua Wajah Pemberontakan
Akhirnya, Pemberontakan Kata-Kata memperlihatkan dua wajah. Dari sisi romantisme, ia adalah ruang teduh yang penuh kelembutan metafora, mengajak kita merenungi hidup dengan cara sederhana. Dari sisi satir, ia adalah ironi: pemberontakan yang justru tampil lembut, bahkan malu-malu.
Dan mungkin di situlah letak kekuatan buku ini. Ia membuktikan bahwa tidak semua pemberontakan harus gaduh. Ada pemberontakan yang sunyi, lirih, bahkan romantis—dan kadang, justru pemberontakan yang seperti itulah yang paling menggetarkan.
Yono DL dengan antologi ini mengingatkan kita bahwa kata-kata tetap punya daya untuk menolak diam. Mereka bisa marah, bisa lembut, bisa romantis, bisa satir. Dan pada akhirnya, mereka tetap hidup—berdenyut di dada, menunggu pembacanya untuk duduk sebentar, menyeruput kopi, dan mendengar. ***
Sumber : informasikita.com
