
Oleh: Sukarlan
Di wilayah Jambi Barat—yang mencakup Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Tebo—ada satu realitas ekonomi yang sulit dibantah: Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) menjadi napas bagi banyak keluarga. Meskipun statusnya ilegal, aktivitas ini telah menjadi penopang ekonomi masyarakat bawah selama bertahun-tahun.
Coba tengok saja. Sekitar seperempat penduduk di empat kabupaten tersebut menggantungkan hidup pada aktivitas PETI. Dengan harga emas yang terus menanjak, tak heran jika godaan untuk ikut “menambang nasib” begitu besar. Para pekerja hanya bermodal nyali dan tenaga, sementara pemodal atau toke menyiapkan peralatan dan dana. Hasilnya? Dalam sehari, seorang penambang bisa membawa pulang ratusan ribu hingga jutaan rupiah—tergantung seberapa “ramah” tanah hari itu.
Istilah yang sering mereka ucapkan cukup menyentuh: “Kami bekerja demi sesuap nasi.” Namun, di sisi lain, bagi para pemodal, aktivitas ini tak ubahnya berburu berlian. Dua kepentingan yang berbeda, tapi saling bergantung.
Kalau ditarik ke belakang, geliat PETI di Jambi Barat bukanlah hal baru. Aktivitas ini mulai marak sejak akhir 1990-an dengan munculnya mesin “dompeng”. Sekitar tahun 2010 hingga 2020, era dompeng mencapai masa kejayaan. Dari Sarolangun hingga Tebo, suara mesin tambang nyaris menjadi latar kehidupan sehari-hari.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan PETI telah menumbuhkan daya beli masyarakat. Di banyak daerah, ekonomi lokal berputar karena hasil tambang emas. Ada perputaran uang, ada geliat pasar, bahkan bisa dikatakan masyarakat di sekitar tambang nyaris tak merasakan gejolak inflasi.

Namun, di balik kenyataan ekonomi itu, muncul pertanyaan penting: sampai kapan semua ini akan dibiarkan berjalan tanpa arah yang jelas?
Selama ini, banyak pihak menganggap kemajuan ekonomi daerah adalah hasil kerja pemerintah. Tapi faktanya, sebagian besar ditopang oleh keringat para penambang rakyat. Artinya, pemerintah perlu melihat realitas ini dengan lebih terbuka dan bijak.
Penulis berpendapat, sudah waktunya aktivitas PETI ini tidak sekadar dilarang, tapi dicarikan solusi yang manusiawi dan legal. Jika benar pemerintah ingin memajukan rakyat, maka regulasi yang memungkinkan pertambangan rakyat dikelola secara resmi dan berkelanjutan menjadi keharusan.
Terlebih, Presiden Prabowo Subianto sendiri sudah memberi sinyal positif: pertambangan rakyat boleh dikelola asal bijak dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah daerah menerjemahkan sinyal itu menjadi kebijakan nyata.
Empat kepala daerah di Jambi Barat—Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Tebo—ditunggu gebrakannya. Bukan untuk menutup mata terhadap realitas, tapi justru untuk menata dan mengubah aktivitas tambang rakyat menjadi potensi ekonomi yang sah, aman, dan ramah lingkungan.
Karena pada akhirnya, masyarakat tak butuh janji besar. Mereka hanya ingin bekerja dengan tenang, tanpa harus bersembunyi di balik kata “ilegal”. (Redaksi Fokus Info News)
Artikel ini disadur dari Newslan.id
